Translate

Minggu, 04 Mei 2014

Rumah Semut



“ Rumah Semut”

Hari ini seperti biasa, ku buka mata ku perlahan. Mengulat dikasur ku kekanan dan kiri, sambil ku panjangkan tangan ku keatas kepala ranjang.  Selimut biru berlogo garuda salah satu merk maskapai penerbangan itu kutarik dari tubuhku. Lalu beranjak dari posisi tidurku yang terlentang. Duduk sebentar dipinggiran tempat tidur. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaranku.
Kulangkahkan kaki ke ruang tamu, Kulihat didepan televisi ibuku dan kedua adik terlelap tidur dengan posisi yang tak keruan. Kaki Ida adik ku yang paling kecil berada diatas tubuh adikku Teguh. Sementara Teguh tidur dengan arah melintang dari posisi tidur Ida. Sehingga nampak seperti huruf “T” yang cukup jelas.  Ku dengar sebuah dengkuran keras disana, ya ibuku. Sungguh tak karuan, aku tersenyum kecil. Ditambah lagi wajah adik-adiku yang terlihat polos. Menambah lucu pemandangan itu. Itulah kebiasaan mereka, selalu tidur bersama-sama diruang tamu.
Kulanjutkan kembali langkah ku, menuju ruang disebelah kiri kamarku. Kulihat kakak ku Entik (baca seperti vokal E pada kata elang) juga masih larut dalam mimpi indahnya. Terlihat ada sesuatu mengalir dari bibirnya. Oh, kali ini aku tertawa lirih.
Namun ada yang aneh, biasanya ketika aku bangun pasti aku selalu mendengar suara adzan subuh. Tapi kali ini tidak. “Hmm” aku berpikir dalam hati. “Jangan- jangan?”. Segera aku keluar dari kamar kakaku, berlari menuju ruang tamu. Melihat keatas, mencari benda bulat yang menggantung di dinding. Harap-harap cemas kulihat jam dinding itu.
Jam 6.30 ??, “ Oh tidak, bangun !! semua bangun !! jam 6.30 ,ayo bangun !!. Aku berteriak.
“Mak bangun mak, sudah jam setengah 7”. Sambil ku tepuk-tepuk pundaknya.
“Ida, bangun dik kita sudah hampir terlambat”. Kumoncongkan bibirnya dengan jari ku lalu goncangkan.
“Teguh !! Bangun !! “ Kutampar-tampar pipinya dengan kedua tanganku. “pak pak pak”
Kemudian aku berlari menuju kamar kakaku, “mbak cepat bangun, kita kesiangan”.
                Kini kami berlari menuju kamar mandi. Nyaris sprint ! Berlomba agar dapat kesempatan mandi pertama. Sialnya kamar mandi di rumah kami hanya ada 2, jadi hanya 2 yang dapat dipakai untuk mandi. Sisanya? Antri. Hmm.
                Kedua tuyul itu, Ida dan Teguh paling kencang larinya. Nyeruntul  saja, bak anak anjing dikejar induk ayam karena mengganggu anaknya. Menyalip layaknya Rossi menggasak Casey Stonner ditikungan tajam. Kencang ! Mereka lah yang dapat kesempatan mandi yang pertama. “Aahhh”aku yang membangunkan mereka tapi mereka yang dapat giliran pertama mandi. “Ok, fine “ aku menghela nafas.
                Masih dalam suasana tergesa. Setelah semua selesai mandi, kami bergegas menyantap sarapan yang dibuat oleh mamak. Ya, karena tak sempat dan waktu yang sempit hanya roti dan teh hangat saja untuk kami.  
Waktu sudah menunjukan pukul 06.50 tetapi kami masih berada di rumah dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
 “Mbak Entik kemarin nyuci kaos kaki ku putih kan? dimana mbak sekarang ?”. Tanyaku terengah-engah.
“Aku nggak tahu dik, kemarin kakak nggak nyuci baju” . Jawab Entik
“ Lalu dimana ?”. Menyebalkan sekali.
“Coba kamu cari disepatumu, mungkin didalamnya”. Entik menunjuk kearah rak sepatu.
Dengan cepat kuambil sepatuku dari rak itu. “Oh iya ada mbak”. Tersenyum kegirangan, lengkap sudah atribut-atribut sekolahku. Lalu kupakai sepatu itu tanpa buang-buang waktu. Begitu pula dengan yang lain. Langsung berangkat menuju tujuan masing-masing. “Beres”. Ujar mamaku selesai menyiapkan keperluan dagangnya.
Usai berpamitan dan mencium tangan mamaku, aku pun bergegas. Oh iya, Nama ku Setiya, dan aku satu sekolah dengan kedua tuyul itu disekolah dasar. Iya, Ida dan Teguh maksudku. Dan tinggal sebulan lagi aku akan menghadapi UAS. “Akhrinya sebentar lagi aku tak satu sekolah lagi dengan adik-adiku.” Tertawa penuh kemenangan dalam hati sembari mengepalkan tanganku lalu kuayunkan kebelakang. “Yes”
Sekolah kami sangat dekat. Berjalan sepuluh menit saja sudah sampai. Letaknya yang berada ditepi jantung mata pencaharian petani, membuat kami harus melewati kebun-kebun dan persawahan yang luas nun jauh disana. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah tanaman padi yang kini mulai menguning.
Tapi kini kami berlari terkencing-kencing mengejar waktu. Takut dimarahi wali kelas kami karena terlambat. Sambil memikirkan alasan apa yang tepat untuk kukatakan pada wali kelasku itu.
Setelah melewati rumah Mbah Warso, adiku bertanya alasan apa yang tepat untuk ia katakan pada gurunya.
“Mbak, nanti aku bilang apa ya sama bu gulu?”. Ida bertanya.
“Bilang saja tadi ngompol”  
“Tapi aku udah pernah”. Ia merengek.
“Bilang saja sejujurnya, tadi kamu kesiangan, nggak bakal dimarahi kok” jawabku dengan tenang.
Ia terdiam, mungkin setuju dengan usulku itu. Sementara Teguh berlari sambil membetulkan posisi tasnya yang kebesaran.  
Akhirnya setelah cukup lelah berlari, setelah belokan yang terakhir gerbang sekolah itu tampak dari kejauhan. Dan nampaknya bel sekolah belum dibunyikan, karena disana kulihat siswa-siswa masih asyik bermain di lapangan. Itu artinya belum masuk.
“Ayo dik, cepat belum masuk”. Semakin kencang saja lari kami.
Tepat didepan pintu gerbang, bel sekolah yang terbuat dari potongan besi itu dipukul. “Teng teng teng”. Semua siswa yang tadi asik bermain di lapangan, berhamburan masuk kekelas masing-masing begitu pula dengan kami. Kami tak terlambat. Kukepalkan jari-jari tangan kananku lalu kuayunkan kebelakang.
“ Yes”.  kami bertiga mengucapkannya bersamaan.
“Eh?? Ikut-ikutan saja”. Kata ku. Mereka hanya nyengir saja. Nampaklah gigi Teguh yang tanggal itu. 
#%#
Kami masuk kekelas kami masing-masing. Kebetulan aku masuk bersamaan dengan wali kelasku yang  baru datang juga. Aku duduk dibangku biasaku bersama Esti yang sudah datang dari tadi tampaknya.
“Selamat pagi anak-anak “. Guruku memulai pelajarannya seperti biasa.  Dan Esti berbisik lirih kepadaku, menanyakan gerangan apa yang membuatku terlambat. Sambil berbisik pula kujawab pertanyaan itu.
 Entah mengapa, semenjak aku masuk kekelas ini, nampaknya ada sesuatu yang bergerak-gerak di telapak kakiku. “Ah mungkin cuma kesemutan” kataku dalam. Ya, memang tadi aku berlarian menuju sekolah wajar saja kalau aku kesemutan. Positif saja. Namun, semakin lama kesemutan ini menimbulkan rasa gatal saja. Membuatku tak fokus memperhatikan pelajaran dari guruku itu.
“Takkk “ pensil Esti terjatuh. Tepat dibawah kakiku. Buru-buru ia mengambilnya takut tertinggal catatan yang dibacakan Ibu guru. Tak sengaja ia menoleh kearah sepatuku.
“Arrgghhh, Semut??”. Suaranya memecah keheningan kelas. “ Mana ti??” Aku tak mengerti.
Disepatumu Yak!!
Huh? Arggghhhhhh!!!
Aku bertertiak sejadi-jadinya.  Sembari berlari keluar kelas dengan mengangkat satu kakiku yang dirambati semut itu. “Sial” kataku.
Kulepas sepatu hitam dan kaus kaki ku. Sambil berteriak kupukul-pukulkan sepatuku bermaksud mengeluarkan semut-semut itu. “Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !” . “Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !”
Anehnya aku tak melemparkan sepatu itu, aku justru tetap memegangnya. Lalu kucium bagian dalam sepatu ku. “Urgh, pantas saja ditinggali semut ini” aku lupa untuk mencucinya kemarin. Guru dan teman-temanku hanya melihat dari luar. Heran menyaksikan aku yang sedang jongkok sambil memukul-mukulkan sepatu ke tanah, sambil berteriak. Ada juga yang tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul meja.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kelas lain. Ya tak salah lagi , Ida !! . nampak sebuah sepatu melayang dari dalam kelas. Sama nasibnya seperti sepatuku.
Aku menghitung mundur.
“3..2.. dan 1”. Benar saja .
Sesosok bocah berlari keluar kelas membawa sebelah sepatunya. Kemudian memukul-mukulkan sepatunya ke tanah. Persis seperti yang aku lakukan. Tapi ia tak berteriak. Dan aku menghitung mundur lagi. “3..2.. dan 1” . haha si Teguh.
Aku tertawa karna ia juga mencium bagian dalam sepatunya, sambil mengrenyitkan dahi.
“Urgh”. Kelihatan dari gerak bibirnya.Pertanda dua minggu tak sempat dicuci. 
Sepatu kami memang bersebelahan di rak. Jadi wajar saja kalau semut itu tinggal disepatu kami. Ibarat hotel sudah penuh ditempati para penginap, mereka mencari penginapan lain. 

#%#
Kejadian ini menjadi sebuah pelajaran untuk kami semua, kami sangat malu dengan kejadian itu. Usai pulang sekolah kami menceritkannya pada ibu dan kakak kami dan mereka tertawa tak henti-hentinya. 
"Kawus" kata kakaku Entik. "Asyem" kataku dalam hati.
Beginilah akibatnya kalau jadi anak malas. Dan mulai sekarang aku berjanji untuk selalu rajin : menyiapkan sesuatu sebelum waktunya tiba. Dan  tentu juga untuk selalu mencuci sepatu dan kaus kaki ku. :D
By Teguh Moull