“ Rumah Semut”
Hari
ini seperti biasa, ku buka mata ku perlahan. Mengulat dikasur ku kekanan dan
kiri, sambil ku panjangkan tangan ku keatas kepala ranjang. Selimut biru berlogo garuda salah satu merk maskapai
penerbangan itu kutarik dari tubuhku. Lalu beranjak dari posisi tidurku yang terlentang. Duduk sebentar dipinggiran tempat tidur. Berusaha mengumpulkan
kembali kesadaranku.
Kulangkahkan
kaki ke ruang tamu, Kulihat didepan televisi ibuku dan kedua adik terlelap
tidur dengan posisi yang tak keruan. Kaki Ida adik ku yang paling kecil berada
diatas tubuh
adikku Teguh. Sementara Teguh tidur dengan arah melintang dari posisi tidur
Ida. Sehingga nampak seperti huruf “T” yang cukup jelas. Ku dengar sebuah dengkuran keras disana, ya
ibuku. Sungguh tak karuan, aku tersenyum kecil. Ditambah lagi wajah adik-adiku yang
terlihat polos. Menambah lucu pemandangan itu. Itulah kebiasaan mereka, selalu
tidur bersama-sama diruang tamu.
Kulanjutkan
kembali langkah ku, menuju ruang disebelah kiri kamarku. Kulihat kakak ku Entik (baca seperti vokal E pada kata elang) juga masih larut dalam mimpi indahnya. Terlihat ada sesuatu mengalir
dari bibirnya. Oh, kali ini aku tertawa lirih.
Namun
ada yang aneh, biasanya ketika aku bangun pasti aku selalu mendengar suara adzan subuh. Tapi kali ini tidak. “Hmm” aku berpikir
dalam hati. “Jangan- jangan?”. Segera aku keluar dari kamar kakaku, berlari menuju ruang tamu. Melihat keatas, mencari benda
bulat yang menggantung di dinding. Harap-harap cemas
kulihat jam dinding itu.
Jam
6.30 ??, “ Oh tidak, bangun !! semua bangun !! jam 6.30 ,ayo bangun !!. Aku berteriak.
“Mak bangun mak, sudah jam setengah 7”. Sambil
ku tepuk-tepuk pundaknya.
“Ida, bangun dik kita sudah hampir terlambat”.
Kumoncongkan bibirnya dengan jari ku lalu goncangkan.
“Teguh !! Bangun !! “ Kutampar-tampar pipinya
dengan kedua tanganku. “pak pak pak”
Kemudian aku berlari menuju kamar kakaku, “mbak
cepat bangun, kita kesiangan”.
Kini kami berlari
menuju kamar mandi. Nyaris sprint ! Berlomba agar dapat kesempatan mandi
pertama. Sialnya kamar mandi di rumah kami hanya ada 2, jadi hanya 2 yang dapat
dipakai untuk mandi. Sisanya? Antri. Hmm.
Kedua tuyul itu,
Ida dan Teguh paling kencang larinya. Nyeruntul saja, bak anak anjing dikejar induk ayam
karena mengganggu anaknya. Menyalip layaknya Rossi menggasak Casey Stonner
ditikungan tajam. Kencang ! Mereka lah yang dapat kesempatan mandi yang
pertama. “Aahhh”aku yang membangunkan mereka tapi mereka yang dapat giliran pertama
mandi. “Ok, fine “ aku menghela nafas.
Masih dalam suasana
tergesa. Setelah semua selesai mandi, kami bergegas menyantap sarapan yang
dibuat oleh mamak. Ya, karena tak sempat dan waktu yang sempit hanya roti dan
teh hangat saja untuk kami.
Waktu sudah menunjukan pukul 06.50 tetapi kami
masih berada di rumah dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Mbak
Entik kemarin nyuci kaos kaki ku putih kan? dimana mbak sekarang ?”. Tanyaku terengah-engah.
“Aku nggak tahu dik, kemarin kakak nggak nyuci baju”
. Jawab Entik
“ Lalu dimana ?”. Menyebalkan sekali.
“Coba kamu cari disepatumu, mungkin
didalamnya”. Entik menunjuk kearah rak sepatu.
Dengan cepat kuambil sepatuku dari rak itu. “Oh
iya ada mbak”. Tersenyum kegirangan, lengkap sudah atribut-atribut sekolahku.
Lalu kupakai sepatu itu tanpa buang-buang waktu. Begitu pula dengan yang lain. Langsung
berangkat menuju tujuan masing-masing. “Beres”. Ujar mamaku selesai menyiapkan
keperluan dagangnya.
Usai berpamitan dan mencium tangan mamaku, aku
pun bergegas. Oh iya, Nama ku Setiya, dan aku satu sekolah dengan kedua tuyul
itu disekolah dasar. Iya, Ida dan Teguh maksudku. Dan tinggal sebulan lagi aku
akan menghadapi UAS. “Akhrinya sebentar lagi aku tak satu sekolah lagi dengan
adik-adiku.” Tertawa penuh kemenangan dalam hati sembari mengepalkan tanganku
lalu kuayunkan kebelakang. “Yes”
Sekolah kami sangat dekat. Berjalan sepuluh
menit saja sudah sampai. Letaknya yang berada ditepi jantung mata pencaharian
petani, membuat kami harus melewati kebun-kebun dan persawahan yang luas nun jauh
disana. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah tanaman padi yang kini mulai
menguning.
Tapi kini kami berlari terkencing-kencing
mengejar waktu. Takut dimarahi wali kelas kami karena terlambat. Sambil
memikirkan alasan apa yang tepat untuk kukatakan pada wali kelasku itu.
Setelah melewati rumah Mbah Warso, adiku
bertanya alasan apa yang tepat untuk ia katakan pada gurunya.
“Mbak, nanti aku bilang apa ya sama bu gulu?”.
Ida bertanya.
“Bilang saja tadi ngompol”
“Tapi aku udah pernah”. Ia merengek.
“Bilang saja sejujurnya, tadi kamu kesiangan, nggak
bakal dimarahi kok” jawabku dengan tenang.
Ia terdiam, mungkin setuju dengan usulku itu.
Sementara Teguh berlari sambil membetulkan posisi tasnya yang kebesaran.
Akhirnya setelah cukup lelah berlari, setelah
belokan yang terakhir gerbang sekolah itu tampak dari kejauhan. Dan nampaknya
bel sekolah belum dibunyikan, karena disana kulihat siswa-siswa masih asyik
bermain di lapangan. Itu artinya belum masuk.
“Ayo dik, cepat belum masuk”. Semakin kencang
saja lari kami.
Tepat didepan pintu gerbang, bel sekolah yang
terbuat dari potongan besi itu dipukul. “Teng teng teng”. Semua siswa yang tadi
asik bermain di lapangan, berhamburan masuk kekelas masing-masing begitu pula
dengan kami. Kami tak terlambat. Kukepalkan jari-jari tangan kananku lalu
kuayunkan kebelakang.
“ Yes”. kami bertiga mengucapkannya bersamaan.
“Eh?? Ikut-ikutan saja”. Kata ku. Mereka hanya
nyengir saja. Nampaklah gigi Teguh yang tanggal itu.
#%#
Kami masuk kekelas kami masing-masing. Kebetulan
aku masuk bersamaan dengan wali kelasku yang baru datang juga. Aku duduk dibangku biasaku
bersama Esti yang sudah datang dari tadi tampaknya.
“Selamat pagi anak-anak “. Guruku memulai pelajarannya
seperti biasa. Dan Esti berbisik lirih
kepadaku, menanyakan gerangan apa yang membuatku terlambat. Sambil berbisik pula kujawab
pertanyaan itu.
Entah
mengapa, semenjak aku masuk kekelas ini, nampaknya ada sesuatu yang
bergerak-gerak di telapak kakiku. “Ah mungkin cuma kesemutan” kataku dalam. Ya,
memang tadi aku berlarian menuju sekolah wajar saja kalau aku kesemutan.
Positif saja. Namun, semakin lama kesemutan ini menimbulkan rasa gatal saja. Membuatku
tak fokus memperhatikan pelajaran dari guruku itu.
“Takkk “ pensil Esti terjatuh. Tepat dibawah
kakiku. Buru-buru ia mengambilnya takut tertinggal catatan yang dibacakan Ibu
guru. Tak sengaja ia menoleh kearah sepatuku.
“Arrgghhh, Semut??”. Suaranya memecah keheningan
kelas. “ Mana ti??” Aku tak mengerti.
Disepatumu Yak!!
Huh? Arggghhhhhh!!!
Aku bertertiak sejadi-jadinya. Sembari berlari keluar kelas dengan
mengangkat satu kakiku yang dirambati semut itu. “Sial” kataku.
Kulepas sepatu hitam dan kaus kaki ku. Sambil
berteriak kupukul-pukulkan sepatuku bermaksud mengeluarkan semut-semut itu.
“Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !” . “Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !”
Anehnya aku tak melemparkan sepatu itu, aku
justru tetap memegangnya. Lalu kucium bagian dalam sepatu ku. “Urgh, pantas
saja ditinggali semut ini” aku lupa untuk mencucinya kemarin. Guru dan
teman-temanku hanya melihat dari luar. Heran menyaksikan aku yang sedang
jongkok sambil memukul-mukulkan sepatu ke tanah, sambil berteriak. Ada juga
yang tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul meja.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kelas
lain. Ya tak salah lagi , Ida !! . nampak sebuah sepatu melayang dari dalam
kelas. Sama nasibnya seperti sepatuku.
Aku menghitung mundur.
“3..2.. dan 1”. Benar saja .
Sesosok bocah berlari keluar kelas membawa
sebelah sepatunya. Kemudian memukul-mukulkan sepatunya ke tanah. Persis seperti
yang aku lakukan. Tapi ia tak berteriak. Dan aku menghitung mundur lagi.
“3..2.. dan 1” . haha si Teguh.
Aku tertawa karna ia juga mencium bagian dalam
sepatunya, sambil mengrenyitkan dahi.
“Urgh”. Kelihatan dari gerak bibirnya.Pertanda dua minggu tak sempat dicuci.
Sepatu kami memang bersebelahan di rak. Jadi wajar saja kalau semut itu tinggal disepatu kami. Ibarat hotel sudah penuh ditempati para penginap, mereka mencari penginapan lain.
Sepatu kami memang bersebelahan di rak. Jadi wajar saja kalau semut itu tinggal disepatu kami. Ibarat hotel sudah penuh ditempati para penginap, mereka mencari penginapan lain.
#%#
Kejadian ini menjadi sebuah pelajaran untuk
kami semua, kami sangat malu dengan kejadian itu. Usai pulang sekolah kami
menceritkannya pada ibu dan kakak kami dan mereka tertawa tak henti-hentinya.
"Kawus" kata kakaku Entik. "Asyem" kataku dalam hati.
Beginilah akibatnya kalau jadi anak malas. Dan mulai sekarang aku berjanji untuk selalu rajin : menyiapkan sesuatu sebelum waktunya tiba. Dan tentu juga untuk selalu mencuci sepatu dan kaus kaki ku. :D
"Kawus" kata kakaku Entik. "Asyem" kataku dalam hati.
Beginilah akibatnya kalau jadi anak malas. Dan mulai sekarang aku berjanji untuk selalu rajin : menyiapkan sesuatu sebelum waktunya tiba. Dan tentu juga untuk selalu mencuci sepatu dan kaus kaki ku. :D
By Teguh Moull