Translate

Jumat, 25 April 2014

Cerpen "Sepeda Kumbang"



“Sepeda Kumbang”


Fajar telah menyingsing. Cahaya keemasannya menyebar kepermukaan bumi. Sinar yang jatuh miring ke tanah, disambut kabut putih tipis menyelimuti desa. Menembus setiap celah daun di pepohonan. Menampilkan panorama cahaya yang elok. Garis-garis panjang keemasan, seakan menerawang setiap sisi desa.
Terdengar derai langkah kaki pagi itu. Telapak kaki mungil, beradu melawan basahnya rumput tersiram embun pagi. Menimbulkan bunyi yang khas ditengah hamparan hijaunya padi. Nampak Lestari berjalan menyusuri pematang sawah tanpa alas kaki. Berpacu dengan waktu, dikepalanya sebuah bakul tersunggi.
Tangan kiri menjinjing sandal, tangan kanan memegang pinggiran bakul. Menjaga supaya tak bergeser dari kepalanya. Sementara kaki mungil itu, berusaha menjaga keseimbangan diatas licinnya pematang sawah. Berat, begitu yang ia rasakan. Bakul bambu yang tertutup rapi oleh kain putih bergaris hijau itu,  penuh terisi kue moho.
Dari wajahnya, tampak raut muka orang yang penuh ketegaran. Ya, muka orang-orang dengan penderitaan hidup. Tersimpan kesedihan, kekurangan dan kesulitan didadanya yang ia lebur menjadi satu dalam sebuah kesabaran. Seakan menumbuk hati Lestari sehingga lembut teksturnya. Tak heran kalau ia lebih mudah melihat sesuatu dengan hati.
Berhenti sejenak ia dipondok bambu, membetulkan posisi bakul yang mulai merosot dari kepalanya itu. Sembari mengelap keringat yang mengalir melalui pelipis kanannya, dengan selendang yang menggantung di leher. Sesekali membuang nafas.
Biasanya dipondok itu, ia bertemu beberapa petani yang hendak pergi kesawah. Menunggu Lestari lewat, ingin membeli dagangannya. Namun kini dilihatnya pondok itu kosong. Belum rejeki, begitu hatinya berkata. Lestari melanjutkan perjalanannya.
Pagi-pagi sekali ia berangkat kepasar krempyeng diseberang desa. Berharap sedikit rejeki dari hasil penjualan kue moho buatannya. Untuk menyambung hidup, sekaligus membantu ekonomi keluarga yang tak tentu arah.
Setibanya di pasar, ia menurunkan bakul dari kepalanya. Jangankan lapak, meja tempat menaruh barang dagangannya pun tak ada. Yang ada hanya dingklik buatan Puji suaminya. Tempat ia duduk menunggu para pelanggan.

 Berlutut Lestari meletakan bakul itu. Tampak tangannya gemetaran. Kosong perutnya tak sempat sarapan. Dibukanya penutup bakul perlahan, lalu mengambil satu kue moho hangat untuk mengganjal perut yang kelaparan. Tak berapa lama, beberapa pelanggan menghampirinya.
“ Gasik yo yu, Aku minta kue mohonya 5 ya, pilih yang masih anget lho. ini uangnya.” pinta seorang pembeli.
“Kalo aku biasa Yu 10 wae, mau tak bawain anaku jalan-jalan ke Mesjid Agung. Sampeyan mau beli ndak Bu Barjo, nanti sekaliyan tak bayarin? “
“Iyo, sekalian itu digabung sama punya mu jeng Rumi,5 saja. Masjid Agung tu mana to mbak Tari? ” tanya bu Barjo pada Lestari.
“ Itu lho bu deket alun-alun. Kauman kauman. Ada bedug gedhe, terbesar didunia kabarnya. Ini bu, semuanya jadi lima ribu lima ratus.” jawab Lestari sambil menyodorkan kue moho.
“ Oh, gitu to. Wah, aku lho suka yang gedhe-gedhe “ . Tersenyum sambil menepuk lengan jeng Rumi.
“Opo to bu, pagi-pagi kok sudah ngomong yang gedhe-gedhe. Ya sudah ah, ini mbak Tari uangnya. makasih ya” Berlalu pergi meninggalkan Lestari.
“Alhamdulillah penglaris”Ucap Lestari sambil menepukan uang ke dagangannya

Matahari mulai meninggi. Dagangannya pun cukup laku pagi itu. Uang yang didapatnya dirasa cukup untuk membeli sedikit beras dan memberi uang saku anaknya. Ia pun memutuskan untuk pulang sejenak. Bakul berisi sisa dagangannya, ia titipkan terlebih dahulu pada penjual lain disebelah yang sudah lama ia kenal. Berharap ada yang membeli saat ia pulang nanti.
“Eh mbak Tari, sudah mau pulang saja” tanya penjual gethuk..
“Iya, kasihan anak saya nungguin, belum tak kasih uang jajan soalnya. Titip ya bu“ . Lestari meninggalkan dagangannya.
Waktu menunjukan pukul tujuh kurang lima menit di dinding bambu itu.Yuli dan Redi anaknya menanti penuh harap kedatangan sang bunda di rumah. Kakak beradik itu menunggu uang saku yang bunda dapat dari hasil menjual kue moho dipasar. Berdiri didepan pintu menatap cemas ke arah jalan.
 “Mamak mana sih mbak, kok belum pulang-pulang. Belnya bentar lagi bunyi lo? “ Cemberut wajah Redi.
“ Sabar dik, sebentar lagi. Mungkin mamak sedang dijalan” Yuli berusaha menenangkan adiknya.
.
Puji sang suami yang hendak pergi kesawah, menitipkan Dewi di rumah neneknya yang kala itu masih bayi. Tertidur pulas, dibalik hangat bedongan jarit batik mahar pernikahnnya.
Sementara di perjalanan, Lestari dengan cepat mengayuh sepeda kumbang yang ia pinjam dari Koh Acong juragan daging.
Udara pagi menerpa wajah Lestari. Terurai rambutnya kebelakang terhempas angin. Kaki mungil yang tak sampai menapak ke pedal, ia paksakan untuk tetap mengayuh sepeda itu. Sehingga nampak lucu saat ia mengendarainya.
Kaki kanan mendorong pedal, sementara kaki kiri menggantung menunggu pedal yang masih berputar. Sesekali, ia juga berdiri sambil memacu sepedanya, meninggalkan sadel empuk berlapis kulit itu. Pegal, itu yang ia rasakan.
“Kriyet, kriyet, kriyet”
Sedel itu berbunyi saat lestari mengayuh sepedanya.
Di tengah penantian yang penuh harap. Tiba-tiba Yuli bersorak kegirangan. Tangannya menunjuk kerarah jalan. Dilihatnya sang bunda dari kejauhan, mengayuh lucu sepeda kumbang. Memecah suasana pagi itu.
“Mamak !! itu dik mamak pulang”. Yuli berteriak.
Redi yang tadi tertunduk lesu, badannya tiba-tiba tegak mendengar suara Yuli. Kaget bukan kepalang .Seperti orang mendengar suara guntur dadakan dikala hujan.
“Emhah, emhah, emhah “
Sampailah Lestari dihalaman rumah. Nampak kembang kempis dadanya mengatur nafas yang masih memburu. Belum sempat ia meletakan sepedanya, berlarian Yuli dan Redi menyambut kedatangan sang bunda. Tak sabar menerima uang saku yang ia bawa.
Penuh kelembutan ia meminta kedua anaknya untuk bersabar, sembari me-nyetandarkan sepedanya itu. Tangan kanannya mengeluarkan uang dari saku daster berwarna oranye nya. Menjulur masuk ke saku seragam Redi dan Yuli. Dibelainya rambut Redi yang ikal.
“Sekolah yang pinter. Jangan jajan yang macam-macam nak” kata Lestari
 Setelah menerima uang saku masing-masing, diciumlah tangan Lestari, diikuti salam lalu bergegas berangkat ke sekolah.
Dipandanginya kedua anak itu berangkat, nampak bersemangat pergi kesekolah. Hati Lestari luluh tak kuasa menahan haru. Diusapnya air mata yang mengalir dipipi. Dalam hati ia berharap agar esok dapat terulang kembali, memberi uang saku untuk anaknya.
Lestari, pantang menyerah demi menghidupi anaknya. Hatinya kuat sekuat baja, namun lembut selembut arumanis. Langkahnya anggun meretas gundah, seanggun sepeda kumbang.

By Teguh Moull

Cerpen "Haloo"



“Haloo”


Bosan dan bosan,itu yang aku rasakan ditempat ini. Ya menunggu. Menunggu adalah hal yang paling membosankan yangpernah aku lakukan dalam hidupku, tapi sepertinya aku sudah terbiasa dengan kondisi ini.
Kupandangi tiket bus dengan harga tiga ribu yang kubeli tadi, tertera namaku disana, Faqih Maulana.
 Satu jam sudah aku menunggu diruangan kotak berukuran 2x3 yang lebih mirip kandang ini. Ditemani 2 orang petugas penjaga halte yang mulai kebingungan, gerangan apa bus yang seharusnya datang pukul 2.15 mendadak molor hampir satu jam.
 Dan setiap kali aku mengeluh kepada petugas tentang kondisi ini, salah satu dari merekamemintaku untuk tetap bersabar.Tanpa memberikan sebuah alasan yang jelas perihal keterlambatan ini. Walaupun aku tahu sebenarnya mereka juga tidak enak dengan ku karena menunggu terlalu lama.
Namun mereka tak menampakannya, dan mencoba untuk tetap tenang.
Sejenak kubenarkan posisi dudukuyang mulai merosot karna kebosanan.Kuangkat tubuhku sedikit keatas bertumpu pada kedua tangan ku, lalu duduk tegak bersandar kedinding kaca. Sesekali menghela nafas, sambil melirik jam dinding yang menempel ditembok halte. Ku lihat waktu sudah  menunjukan pukul 3 tepat.
“Hah, lama benar” kataku dalam hati.
Entah berapa kali sudah aku berganti posisi duduk di kursi ini. Kekanan, kekiri, lalu berdiri, melongok-longok keluar, berjalan kesana kemari. Tak sabar menanti kedatangan bus yang memuakan itu.
Ditengah kobosanan yang aku rasakan, tiba-tiba terdengar HP ku berdering. Tanda ada sebuah panggilan masuk. Entah dari siapa.
Getarannya di saku celana sebelah kanan ku, membuat ku tak tahan untuk segera mengeluarkannya dan menjawab panggilan itu.
Kulihat nomor pribadi disana,.
“Halo?”. Ucapku dengan nada pelan.
Siapaya..halo?”.  Tak merespon.
 “Halo? “ucapkulagi, sesekali melihat ke HP.
 “Halo? Siapasih?” Tak ada jawaban apapun disana.
Berkali-kali aku mengatakannya namun tak ada jawaban apapun, yang kudengar hanyalah suara desis mirip radio ditengah malam yang sudah habis jam siarannya, persis.Aku yang memakai kaos kuning dan celana jeans biru panjang,seakan jadi sorotan orang yang sudah mulai memenuhi halte ini. Tingkahku yang kebingungan dengan panggilan tak bertuan ini semakin membuatku penasaran. Siapakah orang iseng yang mencoba menguji kesabaran ku,atau malah menerorku? Benar-benar kurang kerjaan.
Segera saja kutekan tombol merah bergambar gagang telepon itu. Pertanda aku mengakhirinya, dan kumasukan kembali kesaku celanaku.
“Bikin emosi saja”,menggelengkan kepala sambil mengelap kacamataku yang mulai berdebu ini.
Kupakai lagi kacamataku. Kulihat ada sebuah kotak disana, diatasnya tertulis sebuah merek koran. Lalu aku berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Permisi mbak, saya mau ambil koran dibelakang mbak “. Pintaku pada seorang perempuan berseragam SMA itu.
Koran baru yang masih tercium bau seperti buku yang baru keluar dari pabrik. Lumayan sembari aku menunggu bus itu tiba, pikirku. Namun tak ada artikel menarik disana. Yang ada hanya berita seputar korupsi yang tak ada habisnya itu. Kubolak-balik halaman demi halaman, mencoba mencari sesuatu yang menarik. Hingga kutemukan sebuah cerpen lucu, sampai-sampai aku terlarut kedalam ceritanya.
Selang beberapa waktu, ketika aku sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dikoran itu, HP ku kembali berdering.
“Siapa lagi, sih” kataku protes.
Ku ambil kembali HP yang berdering itu dari saku celana ku. Lagi-lagi nomor pribadi yang memanggil.
Tanpa pikir panjang, segera saja kumatikan. Lalu kulanjutkan kembali bacaanku yang tertunda tadi. Namun dering telepon ini tetap saja berbunyi. Tak mau berhenti.
Heran. Dering telepon ini tak mau diam, padahal tombol merah bergambar telepon itu sudah aku tekan berkali-kali dengan jempol ku.
Jengkel, begitu yang aku rasakan, ku tekan tombol tolak berkali-kali secepat orang yang sedang bertasbih, namun  tak sengaja aku menekan tombol jawab disebelah kirinya. Dan dering telepon itu berhenti pertanda aku menerimanya.
Kutempelkan HP itu ditelangku, dengan nada emosi akuucapkan.
 “haloooooo !”teriaku menggerutu.
“Blaaaaaaar”
Telepon itu meledak, menyebabkan denging suara yang memekakan ditelinga kanan ku ini. Ku pegang telingaku, kurasakan sesuatu mengalir melewati pipi kanan ku ini. Ku usap dengan telapak tangan, kemudian kulihat ada darah segar disana. Oh,mata ku  mulai berkunang-kunang.
Aku terdiam sejenak.Kepalaku pening tak karuan ditambah bunyi dengung ditelingaku yang semakin memperparah keadaan ini. Penglihatanku mulai kabur, sepertinya aku akan pingsan. Dari pandanganku yang tak jelas ini kulihat orang-orang mulai datang mengelilingi ku.
 Ku pikir ada seseorangberlutut didepanku. Ya, tidak salah lagi. Seorang wanita. Dari matanya aku tahu bahwa ia mengkhawatirkan keadaan ku. Aku tak kenal dia, parasnya cantik terbungkus hijab yang syar’i. Penuh cemas menatap ke arahku.
Ia mengatakan sesuatau, tapi aku tak mendengarnya. Dari gerakan bibirnya aku tahu ia mengatakan
“Mas, mas, bisa dengar saya?  Mas ? ”
. Hembusan nafasnya menerpa wajahku setiap kata demi kata yang ia ucapkan. Tatapannya teduh, seteduh awan tertembus sinar matahari di langit yang kebiruan-biruan.  Aku tak menjawab, hanya bisa diam . Terpaku, terpesona seperti baru melihat bidadari yang turun dari kayangan.  Darahku bergejolak, jantungku berdebar-debar. Ku rasa ini lah cinta pada pandangan pertama.
“Tin tin tin”
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari arah sebelah kanan halte, ku lihat bus yang ku nanti-nanti itu tiba.  Pertanda pendengaranku sudah kembali pulih.

“Astaghfirullah, nyebut qih “ kataku dalam hati.
 Ku tundukan kepala yang sedari tadi memandang wajah wanita itu. Ya, Zina hati.
 “Astagfirullah hal’adzim”.
Kemudian datang seorang laki-laki berbadan tegap kearah ku. Suaminya kupikir, aku berkhusnudzon saja. Kulihat sebotol air ditangan kanannya, untukku mungkin. Kebetulan aku juga sudah sangat haus sejak tadi .
Dibukalah tutup botol air mineral itu dengan tangan kirinya. Aneh, ia tak menyodorkan botol itu kearah ku. Ia justru menuangkannya keatas kepala ku. Ya , menyiram begitu saja . Sontak aku berdiri hendak menahan tangannya. Namun air terlanjur tumpah  membasahi rambut ku. Seketika itu pulaaku terbangun dari tidurku.
“Sial mimpi” kataku. Mimpi yang konyol, namun juga indah .
Ketengok keatas, ternyata atap ku bocor  sehingga air hujan jatuh tanpa terhalang. Tepat di kepalaku.
Nafasku masih memburu tak karuan, dadaku kembang kempis seperti orang yang baru berlari keliling alun-alun dengan gaya sprint. Dan kulihat telepon ku menari-nari dengan nyanyian dan getarannya, seolah meneriakiku untuk segera bangun. Gemuruh petir seakan bersaut-sautan dilangit, mengeluarkan bunyi ledakan yang sama persis seperti yang ku dengar di mimpi ku tadi, pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
“Ahh, ternyata ini penyebabnya”. Kataku dalam hati sambil menyeka pipi yang juga bayah kuyup terkena air liurku. Darah kupikir. Aku tertawa keheranan.