Translate

Sabtu, 21 Juni 2014

Cerpen " Setiap orang berhak memilih"



 "Setiap orang berhak memilih"

Malam terasa beku. Hawa dingin seakan merasuk, menghujam sampai ketulang. Musim kemarau dibulan Mei, benar-benar membuat setiap malam seolah berada dikutub utara.
Namun berbeda dengan suasana keluarga Lestari. Dibalik dinding anyaman bambu, Lestari dan anak-anaknya berkumpul menunggu Puji di pawon. Sembari mengukus kue moho dengan panci besar diatas tungku kayu bakar. Menghangatkan diri.
Ditemani alas tikar dan obat nyamuk berwarna hijau spiral dengan asap yang meliuk-liuk, seakan mencambuk setiap nyamuk yang mendekat. Tak jarang asap itu membuat orang terbatuk-batuk didekatnya.
Ya, memang nyamuk desa tak mempan diobati. Bahkan sudah kebal. Redi yang sedari tadi asik bermain bayangan didekat tungku, seolah mengibarkan bendera perang pada nyamuk-nyamuk itu. Siap siaga layaknya Densus 88 hendak menyergap teroris.
Sungguh, ia tak tahan dengan nyamuk-nyamuk itu. Tak ada ampun! Sekuat tenaga ia menepuk kalau-kalau ada nyamuk yang hinggap ditubuhnya.
“Plak”. Redi menepuk penuh keyakinan. Tangannya masih menempel dipahanya. Dibuka telapak tangan itu perlahan-lahan. Mengintip kecil dibalik tangannya yang mungil.
Sayang nyamuk itu menghindar, yang tersisa hanya bekas merah di pahanya dan rasa panas yang membuat ia meringis.
 “Aduh ”. Redi menggerutu.
Berbeda dengan Yuli, ia sibuk membantu mamaknya menata kue moho di nampan besar.
“Oh iya nduk, itu kue yang dimeja depan sudah dibungkusin ya, tinggal dibawa saja” ujar Lestari pada Yuli.
“Iya mak, besok banyak siswa yang olah raga juga lo, jadi mending ditambahin aja mak” jawab Yuli.
Ealah, anak mamak sudah pinter ”. Lestari berlalu menuju ke dapur.
Hatinya kalut, sedih memikirkan masa depan anaknya itu. Diantara teman-temannya hanya Yuli yang paling miskin. Masa kanak-kanak yang seharusnya ia gunakan untuk bermain bersama teman sebayanya disekolah, hilang untuk berjualan kue. Saat teman-temannya asik berkejaran dihalaman sekolah saat istirahat. Yuli rela duduk menunggu pelanggan didepan nampan berisi kue moho.
Ia masih duduk dikelas lima sekolah dasar. Namun pikirannya bak anak seusia kelas dua sekolah menengah. Ia jarang mengeluh tentang apa yang dialaminya. Seolah ia paham dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan.
Sepatu yang dipakainya adalah sepatu yang sudah ia pakai sejak kelas tiga sekolah dasar. Pun bagian tumit sepatunya telah berlubang, sehingga saat hujan, air bebas masuk menembus kaus kakinya. Tak jarang ketika musim hujan tiba ia sering masuk angin.
Tak tega ia meminta pada mamak dan bapaknya. Karna ia tahu mereka tak punya cukup uang untuk membeli sepatu baru. Seandainya bisa, pastilah Lestari meminjam untuk membelikannya, tentu ini hanya menjadi beban.  
Mengingatkan Lestari pada masa-masa sekolahnya dahulu. Seperti biasanya setelah bel sekolah berdentang murid-murid berhamburan keluar kelas. Tak seperti biasanya ia kini langsung pulang kerumah. Ia berjalan bersama teman-temannya yang kebetulan searah. Sampai dipertigaan pasar mereka berpisah. Meninggalkan Lestari seorang diri. Melangkah menuju lorong pasar yang penuh sesak para pedagang dan pembeli .
Ketika ia melewati kios baju, tampak seorang lelaki berbadan tegap memperhatikannya. Wajahnya tak jelas karna tertutup bayang-bayang baju yang menggantung disampingnya. Lalu laki-laki itu berdiri dan mendekati Lestari. Merasa takut, Lestari mempercepat langkahnya. Lalu ia menoleh kebelakang, ternyata laki-laki itu membuntutinya. Lestari berlari sekencang-kencangnya, takut kalau-kalau ia diculik lalu dijadikan wanita jalang di kota besar. Berbagai pikiran negatif memenuhi benak Lestari. Curiga !
“ Hey, tunggu nak !”. Lelaki itu mengacungkan tangannya.
Tunggu !
Saling berkejaran diantara lalu lalang warga pasar yang sibuk dengan urusannya.
Lestari berbelok dari arah yang biasa ia lewati, berputar melewati kios pedagang sayur.
Menumpahkan tumpukan kardus untuk menghalau laju lelaki itu. Dan terus saja berlari.
Kencang !!
  Menoleh lagi kebelakang melihat apakah laki-laki itu masih mengejarnya.
Malang Lestari, ia tak melihat ada kuli pasar yang menyunggi kapas didepannya. Tabrakan pun tak terhindarkan.  “ Brukk “
Ia terjatuh bersama kapas-kapas yang berterbangan disekelilingnya.
Lestari tersungkur dilantai.
 “ Kena kau sekarang, ayo ikut saya !”
“Lepas !”. Lestari berontak.
Dibawa Lestari kekios baju tempat ia melihat lelaki tadi.
“Kamu Lestari kan, kamu tahu baju seragam mu ini? Ini Belum lunas ! bilang sama ibumu untuk segera melunasinya kalau nggak mau kejar-kejaran lagi.” Laki-laki itu menggerutu.

Tak tahu harus menjawab apa, ia hanya menundukan wajahnya. Seketika itu pula tumpah air mata Lestari.
“Ya sudah, pulang sana, Jangan lupa bilang sama ibu mu, suruh bayar !”.
Lestari berlalu meninggalkan tempat itu.
Sungguh ia tak mau Yuli mengalami apa yang telah ia alami dimasa lalu. Lebih baik ia bersabar kalau-kalau ada uang lebih mampir.
Yuli adalah semangat bagi Lestari, darinya ia menemukan kekuatan untuk tetap berjuang. Untuk tetap melanjutkan hidup, karena Yuli adalah harapan bagi keluarga miskin ini. “Apapun yang terjadi, kau harus tetap sekolah nak “ Begitu hatinya berucap.
Tak berapa lama, Puji datang dari pintu belakang. Membawa sesuatu yang terbungkus plastik hitam.
“Bapak pulang !” Teriak redi.
Rejeki ! Puji datang membawa berkat berisi nasi dan bermacam lauk-pauk.
“Bapak baru saja kenduri dari rumah Pak Barjo, anaknya mau menikah bu. Ini ada berkat”.
“Alhamdulillah , kebetulan nasi dimeja juga sudah habis pak”.
Malam itu sungguh istimewa. Makan malam yang biasanya hanya nasi dan beberapa tempe yang dipotong kecil-kecil, berubah menjadi hidangan khas prasmanan bak acara resepsi perkawinan.
Dalam tradisi Jawa, setiap keluarga yang mempunyai hajat seperti pernikahan, selamatan bayi, bahkan memperingati hari kematian anggota keluarganya sekalipun, tak pernah luput  dengan kenduri[1]. Sebuah acara yang selalu ditunggu-tunggu Lestari.
Berkat yang berisi, 1 telur ayam rebus, kluban, mi, satu paham ayam dan 3 centong nasi, dibagi-bagikan Lestari untuk suami dan kedua anaknya.
“Alhamdulillah”
Sambil mengambilkan nasi untuk Puji suaminya.
“ Pak, Yuli sudah pandai berjualan”
“ Ya, iya to yo, anak siapa dulu, memang kalau sudah biasa jualan itu kita jadi ngerti kapan bawa dagangan banyak kapan bawa dagangan sedikit. Tapi wong jualan itu kadang juga nggak mesti, bisa saja sebaliknya. Jadi harus sabar dan ikhlas nduk ”. Ucap Puji .
“ Tuh, didengerin kata  bapak, kita itu mesti sabar dan ikhlas nduk. Tapi nggak cuma saat jualan saja, dalam menjalani hidup ini kita juga harus begitu nduk. Banyak orang-orang yang tidak sabar dengan kemiskinan, sampai-sampai mereka nekat melakukan tindakan yang dilarang agama seperti meminta pada kuburan, pohon, sumur. Belum lagi ada yang mencuri ”. Ujar Lestari
“Haduh, aku belum ngerti mak”. sahut Yuli
 Kalau orang sudah gelap mata, tidak sabar, tidak ikhlas dalam menjalani hidup. Maunya cepet kaya tanpa usaha, pikirannya jadi tidak waras. Akibatnya kuburan pun dimintai doa. Allah sudah mereka dua kan. Padahal kalau kita bersabar, menerima dengan ikhlas dan bersyukur  apa yang telah diberikan oleh Allah. Pasti Allah akan menambah rezeki kita. Tentunya dikuti dengan usaha dan do’a nduk.
Yowis, ayo pada dimakan, jangan lupa berdoa” Ujar Lestari.

            Dalam hidup ini, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Allah yang menentukan.
Benar, hidup itu misteri. Terkadang berada diatas namun sering pula terjatuh dan memulainya dari bawah. Saat dibawah tak luput dari ujian dan cobaan, apalagi saat diatas. Ibarat badai, topan, angin ribut bahkan tsunami pun menghadang menguji keimanan dan kesabaran. Hanya saja dalam menghadapi ujian itu, ada dua pilihan. Memilih untuk menjadi orang waras atau tidak waras dalam menyikapinya. Ya, Setiap orang berhak memilih.
Semua itu atas kehendak Sang Pencipta, tentu tak ada yang mampu mengelak. Begitu juga  Lestari. Terus berjuang, tak tahu apa yang akan ia hadapi esok. Sabar dan tawakal.

(Merupakan kisah lanjutan dari cerpen sebelumnya dengan judul “Sepeda Kumbang “)
>> Tunggu kisah-kisah menarik selanjutnya ya, Cuma disini ni, di Hujau Muda.
Jangan lupa kritik dan sarannya aku tunggu juga loh Kawan.
Kesini bisa teguhion@gmail.com, FB ? ada ni Teguh Moull, Twitter @teguhmoull.
Terima kasih :D



[1] Acara yang biasanya dihadiri para kepala keluarga serta berisi tahlil, dan do’a khusus yang selalu dibarengi dengan pembagian makanan diakhir acara.

Minggu, 04 Mei 2014

Rumah Semut



“ Rumah Semut”

Hari ini seperti biasa, ku buka mata ku perlahan. Mengulat dikasur ku kekanan dan kiri, sambil ku panjangkan tangan ku keatas kepala ranjang.  Selimut biru berlogo garuda salah satu merk maskapai penerbangan itu kutarik dari tubuhku. Lalu beranjak dari posisi tidurku yang terlentang. Duduk sebentar dipinggiran tempat tidur. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaranku.
Kulangkahkan kaki ke ruang tamu, Kulihat didepan televisi ibuku dan kedua adik terlelap tidur dengan posisi yang tak keruan. Kaki Ida adik ku yang paling kecil berada diatas tubuh adikku Teguh. Sementara Teguh tidur dengan arah melintang dari posisi tidur Ida. Sehingga nampak seperti huruf “T” yang cukup jelas.  Ku dengar sebuah dengkuran keras disana, ya ibuku. Sungguh tak karuan, aku tersenyum kecil. Ditambah lagi wajah adik-adiku yang terlihat polos. Menambah lucu pemandangan itu. Itulah kebiasaan mereka, selalu tidur bersama-sama diruang tamu.
Kulanjutkan kembali langkah ku, menuju ruang disebelah kiri kamarku. Kulihat kakak ku Entik (baca seperti vokal E pada kata elang) juga masih larut dalam mimpi indahnya. Terlihat ada sesuatu mengalir dari bibirnya. Oh, kali ini aku tertawa lirih.
Namun ada yang aneh, biasanya ketika aku bangun pasti aku selalu mendengar suara adzan subuh. Tapi kali ini tidak. “Hmm” aku berpikir dalam hati. “Jangan- jangan?”. Segera aku keluar dari kamar kakaku, berlari menuju ruang tamu. Melihat keatas, mencari benda bulat yang menggantung di dinding. Harap-harap cemas kulihat jam dinding itu.
Jam 6.30 ??, “ Oh tidak, bangun !! semua bangun !! jam 6.30 ,ayo bangun !!. Aku berteriak.
“Mak bangun mak, sudah jam setengah 7”. Sambil ku tepuk-tepuk pundaknya.
“Ida, bangun dik kita sudah hampir terlambat”. Kumoncongkan bibirnya dengan jari ku lalu goncangkan.
“Teguh !! Bangun !! “ Kutampar-tampar pipinya dengan kedua tanganku. “pak pak pak”
Kemudian aku berlari menuju kamar kakaku, “mbak cepat bangun, kita kesiangan”.
                Kini kami berlari menuju kamar mandi. Nyaris sprint ! Berlomba agar dapat kesempatan mandi pertama. Sialnya kamar mandi di rumah kami hanya ada 2, jadi hanya 2 yang dapat dipakai untuk mandi. Sisanya? Antri. Hmm.
                Kedua tuyul itu, Ida dan Teguh paling kencang larinya. Nyeruntul  saja, bak anak anjing dikejar induk ayam karena mengganggu anaknya. Menyalip layaknya Rossi menggasak Casey Stonner ditikungan tajam. Kencang ! Mereka lah yang dapat kesempatan mandi yang pertama. “Aahhh”aku yang membangunkan mereka tapi mereka yang dapat giliran pertama mandi. “Ok, fine “ aku menghela nafas.
                Masih dalam suasana tergesa. Setelah semua selesai mandi, kami bergegas menyantap sarapan yang dibuat oleh mamak. Ya, karena tak sempat dan waktu yang sempit hanya roti dan teh hangat saja untuk kami.  
Waktu sudah menunjukan pukul 06.50 tetapi kami masih berada di rumah dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
 “Mbak Entik kemarin nyuci kaos kaki ku putih kan? dimana mbak sekarang ?”. Tanyaku terengah-engah.
“Aku nggak tahu dik, kemarin kakak nggak nyuci baju” . Jawab Entik
“ Lalu dimana ?”. Menyebalkan sekali.
“Coba kamu cari disepatumu, mungkin didalamnya”. Entik menunjuk kearah rak sepatu.
Dengan cepat kuambil sepatuku dari rak itu. “Oh iya ada mbak”. Tersenyum kegirangan, lengkap sudah atribut-atribut sekolahku. Lalu kupakai sepatu itu tanpa buang-buang waktu. Begitu pula dengan yang lain. Langsung berangkat menuju tujuan masing-masing. “Beres”. Ujar mamaku selesai menyiapkan keperluan dagangnya.
Usai berpamitan dan mencium tangan mamaku, aku pun bergegas. Oh iya, Nama ku Setiya, dan aku satu sekolah dengan kedua tuyul itu disekolah dasar. Iya, Ida dan Teguh maksudku. Dan tinggal sebulan lagi aku akan menghadapi UAS. “Akhrinya sebentar lagi aku tak satu sekolah lagi dengan adik-adiku.” Tertawa penuh kemenangan dalam hati sembari mengepalkan tanganku lalu kuayunkan kebelakang. “Yes”
Sekolah kami sangat dekat. Berjalan sepuluh menit saja sudah sampai. Letaknya yang berada ditepi jantung mata pencaharian petani, membuat kami harus melewati kebun-kebun dan persawahan yang luas nun jauh disana. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah tanaman padi yang kini mulai menguning.
Tapi kini kami berlari terkencing-kencing mengejar waktu. Takut dimarahi wali kelas kami karena terlambat. Sambil memikirkan alasan apa yang tepat untuk kukatakan pada wali kelasku itu.
Setelah melewati rumah Mbah Warso, adiku bertanya alasan apa yang tepat untuk ia katakan pada gurunya.
“Mbak, nanti aku bilang apa ya sama bu gulu?”. Ida bertanya.
“Bilang saja tadi ngompol”  
“Tapi aku udah pernah”. Ia merengek.
“Bilang saja sejujurnya, tadi kamu kesiangan, nggak bakal dimarahi kok” jawabku dengan tenang.
Ia terdiam, mungkin setuju dengan usulku itu. Sementara Teguh berlari sambil membetulkan posisi tasnya yang kebesaran.  
Akhirnya setelah cukup lelah berlari, setelah belokan yang terakhir gerbang sekolah itu tampak dari kejauhan. Dan nampaknya bel sekolah belum dibunyikan, karena disana kulihat siswa-siswa masih asyik bermain di lapangan. Itu artinya belum masuk.
“Ayo dik, cepat belum masuk”. Semakin kencang saja lari kami.
Tepat didepan pintu gerbang, bel sekolah yang terbuat dari potongan besi itu dipukul. “Teng teng teng”. Semua siswa yang tadi asik bermain di lapangan, berhamburan masuk kekelas masing-masing begitu pula dengan kami. Kami tak terlambat. Kukepalkan jari-jari tangan kananku lalu kuayunkan kebelakang.
“ Yes”.  kami bertiga mengucapkannya bersamaan.
“Eh?? Ikut-ikutan saja”. Kata ku. Mereka hanya nyengir saja. Nampaklah gigi Teguh yang tanggal itu. 
#%#
Kami masuk kekelas kami masing-masing. Kebetulan aku masuk bersamaan dengan wali kelasku yang  baru datang juga. Aku duduk dibangku biasaku bersama Esti yang sudah datang dari tadi tampaknya.
“Selamat pagi anak-anak “. Guruku memulai pelajarannya seperti biasa.  Dan Esti berbisik lirih kepadaku, menanyakan gerangan apa yang membuatku terlambat. Sambil berbisik pula kujawab pertanyaan itu.
 Entah mengapa, semenjak aku masuk kekelas ini, nampaknya ada sesuatu yang bergerak-gerak di telapak kakiku. “Ah mungkin cuma kesemutan” kataku dalam. Ya, memang tadi aku berlarian menuju sekolah wajar saja kalau aku kesemutan. Positif saja. Namun, semakin lama kesemutan ini menimbulkan rasa gatal saja. Membuatku tak fokus memperhatikan pelajaran dari guruku itu.
“Takkk “ pensil Esti terjatuh. Tepat dibawah kakiku. Buru-buru ia mengambilnya takut tertinggal catatan yang dibacakan Ibu guru. Tak sengaja ia menoleh kearah sepatuku.
“Arrgghhh, Semut??”. Suaranya memecah keheningan kelas. “ Mana ti??” Aku tak mengerti.
Disepatumu Yak!!
Huh? Arggghhhhhh!!!
Aku bertertiak sejadi-jadinya.  Sembari berlari keluar kelas dengan mengangkat satu kakiku yang dirambati semut itu. “Sial” kataku.
Kulepas sepatu hitam dan kaus kaki ku. Sambil berteriak kupukul-pukulkan sepatuku bermaksud mengeluarkan semut-semut itu. “Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !” . “Argghhh, bruk ! brukk ! brukk !”
Anehnya aku tak melemparkan sepatu itu, aku justru tetap memegangnya. Lalu kucium bagian dalam sepatu ku. “Urgh, pantas saja ditinggali semut ini” aku lupa untuk mencucinya kemarin. Guru dan teman-temanku hanya melihat dari luar. Heran menyaksikan aku yang sedang jongkok sambil memukul-mukulkan sepatu ke tanah, sambil berteriak. Ada juga yang tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul meja.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kelas lain. Ya tak salah lagi , Ida !! . nampak sebuah sepatu melayang dari dalam kelas. Sama nasibnya seperti sepatuku.
Aku menghitung mundur.
“3..2.. dan 1”. Benar saja .
Sesosok bocah berlari keluar kelas membawa sebelah sepatunya. Kemudian memukul-mukulkan sepatunya ke tanah. Persis seperti yang aku lakukan. Tapi ia tak berteriak. Dan aku menghitung mundur lagi. “3..2.. dan 1” . haha si Teguh.
Aku tertawa karna ia juga mencium bagian dalam sepatunya, sambil mengrenyitkan dahi.
“Urgh”. Kelihatan dari gerak bibirnya.Pertanda dua minggu tak sempat dicuci. 
Sepatu kami memang bersebelahan di rak. Jadi wajar saja kalau semut itu tinggal disepatu kami. Ibarat hotel sudah penuh ditempati para penginap, mereka mencari penginapan lain. 

#%#
Kejadian ini menjadi sebuah pelajaran untuk kami semua, kami sangat malu dengan kejadian itu. Usai pulang sekolah kami menceritkannya pada ibu dan kakak kami dan mereka tertawa tak henti-hentinya. 
"Kawus" kata kakaku Entik. "Asyem" kataku dalam hati.
Beginilah akibatnya kalau jadi anak malas. Dan mulai sekarang aku berjanji untuk selalu rajin : menyiapkan sesuatu sebelum waktunya tiba. Dan  tentu juga untuk selalu mencuci sepatu dan kaus kaki ku. :D
By Teguh Moull